Mau Sekolah yang ada Masjidnya

Mau Sekolah yang ada Masjidnya
Rabu, 26 Juli 2023    Artikel

BIMA MAU SEKOLAH YANG ADA MASJIDNYA MA!

 “Ini sudah sekolah yang kedua belas bun… “ desah Hasan lirih. Khawatir kedengaran Bima, putra keduanya, yang sedang berjalan cuek di halaman sekolah. Bima,  usianya 6 tahun 7 bulan. Sudah siap memasuki jenjang SD.  Meski pendiam Bima cukup peka terhadap situasi, Kadang semakin menarik diri, jika ngambek atau marah dengan kakaknya. Itulah kenapa Hasan dan Ratih, memilih menghindari  mengeluh atau berbeda pendapat  di hadapan anak-anak mereka. Bima memang pendiam, namun justru itu, yang membuat Hasan dan Ratih, lebih hati-hati  terhadap Bima.

 Berbeda dengan Raka , kakaknya Bima,  Raka lebih terbuka, lebih berani berbicara, setiap bertemu Ratih, mulutnya hampir tidak diam. Terus berceloteh, Bima bahkan jengah, jika Arka sudah mulai rebut.  Saat memilih sekolah, Raka bahkan mudah sekali di ajak diskusi.  Saat ini Raka sudah duduk di kelas  7, sebuah Madrasah Tsanawiyah Negeri  di Kota mereka. 

Hasan dan Ratih selama ini berusaha melibatkan anak-anak mereka. Apalagi terkait pilihan sekolah. Mereka berdua  tentu tidak ingin anaknya merasa terpaksa dan tidak nyaman selama di sekolah. Jadilah mereka berdua, berusaha bijak, meskipun tetap mengarahkan .



“Kakak dulu kayaknya tidak  gini ya bun,” lagi-lagi  Hasan  berbisik di telinga istrinya. “Hus, jangan di sama-samain, Bima emang beda, sudahlah ayah pulang duluan gak apa-apa, nanti aku naik ojek on line aja,” sergah Ratih. Risih juga mendengar suaminya mengeluh dari tadi. Keduanya sedang mengekori Bima, yang melompat-lompat melewati koridor kelas. Ini sekolah yang ke tiga belas , yang mereka datangi. Tentu saja dengan tingkat ekonomi mereka yang semakin membaik, Hasan dan Ratih berusaha memilihkan sekolah yang terpandang di Kota mereka. Mereka sepakat bahwa pendidikan sangatlah penting bagi anak-anak mereka. Biaya bukanlah masalah.

“Cih, mana bisa gitu! Mosok ninggal bunda, gak mau. Aku tunggu di luar aja ya!”

Ratih terkikik, melihat wajah suaminya yang nampak jutek.  Suaminya ini nampak lesu , tampangnya kok jadi melas gitu ya?  Dielusnya tangan kokoh suaminya, pelindung keluarga yang dia cintai.

“Kalau lagi ngambek gitu, Ayah kayak abg ih! gak cocok yah, ingat umur.”  Ratih  berbisik lirih ke telinga Hasan, sifat usilnyapun kambuh. Hasan melengos, berjalan males keluar halaman. “Kalau di Muri ada penghargaan, petualangan memilih sekolah bagi anak, yakin kita bakal menang,” ujar Hasan mengusap kepala istrinya yang tertutup hijab lebar warna hijau sage tersebut. Hasan berjalan keluar. Biarlah istrinya yang menemani Bima, daripada emosinya tak terkendali. Hasan memilih rebahan dalam mobil. Kebetulan mobilnya parkir persis di samping gedung sekolah. Area parkir yang cukup luas, khusus untuk tamu sekolah.



 “Bun, kelasnya besar-besar,semuanya kelas doang” Bima bicara asal, sambil mendekatkan kepalanya di depan jendela kaca kelas. Pipinya dia tempelkan ke kaca jendela kelas, Bahkan bibirnya bermain-main di kaca. Ratih terkesiap, dalam kelas beberapa anak cekikikan melihat tingkah Bima.   Belum sempat Ratih cegah, Bima sudah berlari kembali ke samping gedung . Ratih cepat mengikuti Bima.




“Tunggu bunda sayang, jalan saja, tidak perlu lari,” sergah Ratih, napasnya sudah agak ngos-ngosan. Sudah hampir dua jam mereka memutari sekolah yang cukup megah ini. Ratih tahu, jika Bima memilih sekolah ini, mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Namun baginya yang penting Bima nyaman, itu sudah cukup.



“Halaman nya luas !” Kata Bima berlari ke tengah lapangan.

“Tentu saja, kalau main bola di sini, pasti asyik.”

“ Bim, enggak suka bola, sukanya renang,” teriak Bima, sambil terus berjalan menuju ke pintu gerbang. Ratih berjalan cepat mengejar Bima. Sepertinya Bima sudah bosan memutari sekolah. Suara guru mengajar dan riuhnya anak-anak terdengar di tiap kelas.

“ Lha udahan ta?  Tunggu bunda nak! sini gandeng bunda, kita ke ayah ya? Tuuh ayah.”

Ratih meraih tangan mungil Bima, sambil menunjuk mobil mereka. Berdua  berjalan bergandengan menuju keluar, arah parkir mobil. Beruntung mobil mereka berada di pinggir halaman.

“Gimana sayang, sekolahnya baguskan! “ Ratih memandang anak bungsunya dengan harap cemas. Bima berjalan cuek, seperti biasa, tidak menjawab pertanyaan bundanya. Melihat anak dan istrinya menuju mobil, Hasan keluar dari mobil. Matanya tertuju ke arah si bungsu Bima, sesaat dia tahu, sekolah ini akan jadi sekolah ke-13 , yang ditolak Bima. Mau bagaimana lagi. Hasan yang mengangkat bahu, pasrah. Ratih hanya menggelengkan kepala.



Bima terdiam di dalam mobil, kepalanya bersandar  ke dada sang bunda. Ratih mengusap-usap lembut kepala sang bungsu. Bungsunya yang pendiam dan jarang bicara. Hingga nyaris mereka mengira, anak bungsu mereka bisu. Ratih terkekeh mengenang masa bayi Bima. Beruntung meski pendiam Bima cukup aktif. Beruntung kekhawatiran mereka tidak terbukti, Bima hanya malas bicara, lebih senang bergerak. Kalu sudah fokus terhadap sesuatu, sulit beralih.

“Kita mampir sholat duhur dulu ya? Sebentar lagi ada masjid sesudah tikungan itu!”  Hasan menunjuk tikungan arah ke kiri. Pelan mobil jazz  hitam mereka merambat berbelok ke kiri. Memasuki masjid yang letaknya berada tepat di tengah kota.  Sepertinya jamaah masjid cukup ramai siang ini. Anak-anak kecil berseragam merah putih nampak berseliweran, berjalan berombongan menuju tempat wudlu. Sebagian keluar dari tempat wudlu, Beberapa nampak berlari sesudah wudlu.  Baju dan celana merah mereka  nampak basah, namun tetap  tertawa ceria.  Kaki-kaki kecil mereka berlarian ke arah tangga masjid. Rupanya mereka sholat di lantai dua masjid.

Bima tertegun dipintu kaca mobil. Hingga tidak menyadari Ratih, bundanya sudah berdiri cukup lama, menunggu dirinya keluar mobil . Matanya  tajam mengawasi masjid dan lalu-lalang jamaah sholat duhur. Ratih terdiam sejenak, dahinya mengerenyit, dia menoleh berkali-kali  ke Bima dan memastikan kemana mata  anaknya tertuju. Senyumpun mengembang di bibir Ratih.

“Bima, yuk turun sayang!” Ratih membuka pintu mobil pelan. Bima turun, tangan mungilnya terulur, mendekap erat tangan bundanya. Lalu berjalan lambat tapi pasti menuju masjid. Kondisinya nampak berbalik justru Bima yang narik tangan Ratih. Hasan memandang, saling melirik dengan Ratih. Hasan mengusap tengkuknya yang mulai pusing. Duh! Bima memang sukses bikin Hasan gemes.

Berjalan sedikit cepat, Hasan mencoba mengambil alih Bima dari Ratih. “Bima , bareng ayah ke tempat wudlu!”  Sesaat Hasan merasa Bima menahan tangannya. Mereka berdua berdiri tepat di pintu keluar masuk jamaah laki-laki masjid. Ratih juga sudah memasuki area tempat wudlu wanita.

“Ayo, Bima Putra Dwi Pratama!” Hasan hampir menarik tangan anaknya, sepertinya kesabarannya sudah mulai habis.  Bima tetap berdiri, menahan erat genggaman tangan ayahnya, enggan beranjak dari tampatnya berdiri. Hasan mengalah , berjongkok  mensejajarkan diri di depan anaknya.


“Kenapa sayang?” mata Hasan berusaha memandang lembut Bima. Tanggannya menangkup kedua pundak Bima. Bima memandang wajah ayahnya tanpa ragu.

“Bima mau sekolah di sini, sekolah yang ada masjidnya.”

Hasan terduduk, badannya luruh, seolah beban berat baru terlepas dari pundaknya.

“Apa nak! Katakan sekali lagi?” Matanya  memandang wajah Bima, seolah takut Bima mendadak hilang.

“Bima mau sekolah di sini, sekolah yang ada masjidnya!”  Hasan tergugu, dipeluknya  erat badan kecil Bima, Bima tidak peduli.  Baginya pemandangan anak-anak kecil yang berseragam merah putih jauh lebih menarik. Hasan memandang wajah anaknya tanpa berkedip. Demi Tuhan, baru kali ini Hasan melihat Bima tersenyum lebar, dengan mata berbinar.

( Juli 2023 - Terinspirasi dari kisah nyata salah satu “Sahabat Guru” MI Khadijah)