BIMA MAU SEKOLAH YANG ADA MASJIDNYA
MA!
“Ini sudah sekolah yang kedua belas bun… “ desah Hasan lirih. Khawatir kedengaran Bima, putra keduanya, yang sedang berjalan cuek di halaman sekolah. Bima, usianya 6 tahun 7 bulan. Sudah siap memasuki jenjang SD. Meski pendiam Bima cukup peka terhadap situasi, Kadang semakin menarik diri, jika ngambek atau marah dengan kakaknya. Itulah kenapa Hasan dan Ratih, memilih menghindari mengeluh atau berbeda pendapat di hadapan anak-anak mereka. Bima memang pendiam, namun justru itu, yang membuat Hasan dan Ratih, lebih hati-hati terhadap Bima.
Berbeda dengan Raka , kakaknya Bima, Raka lebih terbuka, lebih berani berbicara,
setiap bertemu Ratih, mulutnya hampir tidak diam. Terus berceloteh, Bima bahkan
jengah, jika Arka sudah mulai rebut. Saat memilih sekolah, Raka bahkan mudah sekali
di ajak diskusi. Saat ini Raka sudah
duduk di kelas 7, sebuah Madrasah
Tsanawiyah Negeri di Kota mereka.
Hasan dan Ratih selama ini berusaha melibatkan anak-anak mereka. Apalagi terkait pilihan sekolah. Mereka berdua tentu tidak ingin anaknya merasa terpaksa dan tidak nyaman selama di sekolah. Jadilah mereka berdua, berusaha bijak, meskipun tetap mengarahkan .
“Kakak
dulu kayaknya tidak gini ya bun,”
lagi-lagi Hasan berbisik di telinga istrinya. “Hus, jangan di
sama-samain, Bima emang beda, sudahlah ayah pulang duluan gak apa-apa, nanti
aku naik ojek on line aja,” sergah Ratih. Risih juga mendengar suaminya
mengeluh dari tadi. Keduanya sedang mengekori Bima, yang melompat-lompat
melewati koridor kelas. Ini sekolah yang ke tiga belas , yang mereka datangi.
Tentu saja dengan tingkat ekonomi mereka yang semakin membaik, Hasan dan Ratih
berusaha memilihkan sekolah yang terpandang di Kota mereka. Mereka sepakat
bahwa pendidikan sangatlah penting bagi anak-anak mereka. Biaya bukanlah
masalah.
“Cih,
mana bisa gitu! Mosok ninggal bunda, gak mau. Aku tunggu di luar aja ya!”
Ratih
terkikik, melihat wajah suaminya yang nampak jutek. Suaminya ini nampak lesu , tampangnya kok
jadi melas gitu ya? Dielusnya tangan
kokoh suaminya, pelindung keluarga yang dia cintai.
“Kalau lagi ngambek gitu, Ayah kayak abg ih! gak cocok yah, ingat umur.” Ratih berbisik lirih ke telinga Hasan, sifat usilnyapun kambuh. Hasan melengos, berjalan males keluar halaman. “Kalau di Muri ada penghargaan, petualangan memilih sekolah bagi anak, yakin kita bakal menang,” ujar Hasan mengusap kepala istrinya yang tertutup hijab lebar warna hijau sage tersebut. Hasan berjalan keluar. Biarlah istrinya yang menemani Bima, daripada emosinya tak terkendali. Hasan memilih rebahan dalam mobil. Kebetulan mobilnya parkir persis di samping gedung sekolah. Area parkir yang cukup luas, khusus untuk tamu sekolah.
“Bun, kelasnya besar-besar,semuanya kelas doang” Bima bicara asal, sambil mendekatkan kepalanya di depan jendela kaca kelas. Pipinya dia tempelkan ke kaca jendela kelas, Bahkan bibirnya bermain-main di kaca. Ratih terkesiap, dalam kelas beberapa anak cekikikan melihat tingkah Bima. Belum sempat Ratih cegah, Bima sudah berlari kembali ke samping gedung . Ratih cepat mengikuti Bima.
“Tunggu bunda sayang, jalan saja, tidak perlu lari,” sergah Ratih, napasnya sudah agak ngos-ngosan. Sudah hampir dua jam mereka memutari sekolah yang cukup megah ini. Ratih tahu, jika Bima memilih sekolah ini, mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Namun baginya yang penting Bima nyaman, itu sudah cukup.
“Halaman
nya luas !” Kata Bima berlari ke tengah lapangan.
“Tentu
saja, kalau main bola di sini, pasti asyik.”
“
Bim, enggak suka bola, sukanya renang,” teriak Bima, sambil terus berjalan
menuju ke pintu gerbang. Ratih berjalan cepat mengejar Bima. Sepertinya Bima
sudah bosan memutari sekolah. Suara guru mengajar dan riuhnya anak-anak
terdengar di tiap kelas.
“
Lha udahan ta? Tunggu bunda nak! sini
gandeng bunda, kita ke ayah ya? Tuuh ayah.”
Ratih
meraih tangan mungil Bima, sambil menunjuk mobil mereka. Berdua berjalan bergandengan menuju keluar, arah
parkir mobil. Beruntung mobil mereka berada di pinggir halaman.
“Gimana sayang, sekolahnya baguskan! “ Ratih memandang anak bungsunya dengan harap cemas. Bima berjalan cuek, seperti biasa, tidak menjawab pertanyaan bundanya. Melihat anak dan istrinya menuju mobil, Hasan keluar dari mobil. Matanya tertuju ke arah si bungsu Bima, sesaat dia tahu, sekolah ini akan jadi sekolah ke-13 , yang ditolak Bima. Mau bagaimana lagi. Hasan yang mengangkat bahu, pasrah. Ratih hanya menggelengkan kepala.
Bima terdiam di dalam mobil, kepalanya bersandar ke dada sang bunda. Ratih mengusap-usap lembut kepala sang bungsu. Bungsunya yang pendiam dan jarang bicara. Hingga nyaris mereka mengira, anak bungsu mereka bisu. Ratih terkekeh mengenang masa bayi Bima. Beruntung meski pendiam Bima cukup aktif. Beruntung kekhawatiran mereka tidak terbukti, Bima hanya malas bicara, lebih senang bergerak. Kalu sudah fokus terhadap sesuatu, sulit beralih.
“Kita
mampir sholat duhur dulu ya? Sebentar lagi ada masjid sesudah tikungan
itu!” Hasan menunjuk tikungan arah ke
kiri. Pelan mobil jazz hitam mereka merambat
berbelok ke kiri. Memasuki masjid yang letaknya berada tepat di tengah kota. Sepertinya jamaah masjid cukup ramai siang
ini. Anak-anak kecil berseragam merah putih nampak berseliweran, berjalan
berombongan menuju tempat wudlu. Sebagian keluar dari tempat wudlu, Beberapa
nampak berlari sesudah wudlu. Baju dan
celana merah mereka nampak basah, namun
tetap tertawa ceria. Kaki-kaki kecil mereka berlarian ke arah
tangga masjid. Rupanya mereka sholat di lantai dua masjid.
Bima
tertegun dipintu kaca mobil. Hingga tidak menyadari Ratih, bundanya sudah
berdiri cukup lama, menunggu dirinya keluar mobil . Matanya tajam mengawasi masjid dan lalu-lalang jamaah
sholat duhur. Ratih terdiam sejenak, dahinya mengerenyit, dia menoleh
berkali-kali ke Bima dan memastikan
kemana mata anaknya tertuju. Senyumpun
mengembang di bibir Ratih.
“Bima,
yuk turun sayang!” Ratih membuka pintu mobil pelan. Bima turun, tangan
mungilnya terulur, mendekap erat tangan bundanya. Lalu berjalan lambat tapi
pasti menuju masjid. Kondisinya nampak berbalik justru Bima yang narik tangan
Ratih. Hasan memandang, saling melirik dengan Ratih. Hasan mengusap tengkuknya
yang mulai pusing. Duh! Bima memang sukses bikin Hasan gemes.
Berjalan
sedikit cepat, Hasan mencoba mengambil alih Bima dari Ratih. “Bima , bareng
ayah ke tempat wudlu!” Sesaat Hasan
merasa Bima menahan tangannya. Mereka berdua berdiri tepat di pintu keluar
masuk jamaah laki-laki masjid. Ratih juga sudah memasuki area tempat wudlu
wanita.
“Ayo, Bima Putra Dwi Pratama!” Hasan hampir menarik tangan anaknya, sepertinya kesabarannya sudah mulai habis. Bima tetap berdiri, menahan erat genggaman tangan ayahnya, enggan beranjak dari tampatnya berdiri. Hasan mengalah , berjongkok mensejajarkan diri di depan anaknya.
“Kenapa
sayang?” mata Hasan berusaha memandang lembut Bima. Tanggannya menangkup kedua
pundak Bima. Bima memandang wajah ayahnya tanpa ragu.
“Bima mau sekolah di sini, sekolah yang ada
masjidnya.”
Hasan
terduduk, badannya luruh, seolah beban berat baru terlepas dari pundaknya.
“Apa
nak! Katakan sekali lagi?” Matanya
memandang wajah Bima, seolah takut Bima mendadak hilang.
“Bima
mau sekolah di sini, sekolah yang ada masjidnya!” Hasan tergugu, dipeluknya erat badan kecil Bima, Bima tidak
peduli. Baginya pemandangan anak-anak
kecil yang berseragam merah putih jauh lebih menarik. Hasan memandang wajah
anaknya tanpa berkedip. Demi Tuhan, baru kali ini Hasan melihat Bima tersenyum
lebar, dengan mata berbinar.
( Juli 2023 - Terinspirasi dari kisah nyata salah satu “Sahabat Guru” MI Khadijah)